DENPASAR – Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Prof KH Ma’ruf Amin menegaskan perbedaan merupakan keniscayaan karena itu umat Islam diharapkan memperkuat persatuan Ukhuwah Islamiyah menghormati perbedaan atau bersikap toleran dengan tidak fanatik terhadap kebenaran kelompoknya.
Hal itu disampaikan Ma’ruf saat membuka Rakerda II MUI Provinsi Bali yang dirangkai pelantikan pengurus Gerakan Nasional Anti Narkoba (Ganas Annar) Provinsi Bali di Hotel Oranjje Denpasar JUmat (30/3/2018).
Ma’ruf mengharapkan, keutuhan antar umat dan bangsa harus dijaga dengan baik. Selain itu, perlu sinergitas antara umat dan pemerintah karena memegang peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Ukhwah Islamiyah menjadi penting karena pasti ada perbedaan, perbedaan menjadi keniscayaan,” tegasnya dalam acara yang dihadiri 180 peserta dari Dewan Pertimbangan MUI Bali, Badan Pengurus Harian (BPH) MUI Bali, Komisi-Komisi MUI Bali, Ormas Islam se Bali, Ganas Annar Bali, Takmir Masjid, Tokoh-tokoh Umat dan Majelis Taklim.
Organisasi umat Islam sendiri terdiri dari berbagai macam kelompok dan aliran keagamaan sehingga dalam berijtihad menemukan kebenaran pasti akan ada perbedaan diantara kelompok satu dengan lainnya.
Untuk itu, ego kelompok atau fanatik kepada kelompoknya harus ditinggalkan. Jika memegang kebenaran sesuai kelompoknya sendiri sama saja dengan tidak punya toleransi atau disebut juga kelompok intoleran.
Dengan umat lainnya saja, umat Islam bisa bekerjasama apalagi dengan sesama umat Islam sendiri. Boleh saja berbeda pemahaman atau mahzab, yang tidak diperbolehkan adalah ego kelompok yakni memandang kelompoknya paling benar dan menafikan kelompok lainnya.
Berbagai pemahaman mahzab pasti melahirkan perbedaan aliran. Demikian juga, dalam bernegara boleh berbeda partai atau kelompok dan seterusnya. Yang tidak boleh adalah ego kelompok ang mengganggap paling benar karena sikap itu menjadi sumber konflik
Perbedaan pemahaman ajaran masih dalam kerangka ikhtilafiah sehingga bisa ditoleransi. Jadi, ada perbedaan yang bisa ditoleransi. Hal itu berbeda dengan penyimpangan sebuah ajaran.
Ma’ruf kembali menekankan pentingnya Ukhuwah Islamiyah yang harus terjaga dengan baik.
“Kita harus kelola kehidupan berbangsa, bernegara dalam paradigma ukhuwah wathoniyah, meskipun berbeda agama namun punya persamaan untuk bersama-sama mempertahankan negara,” tandas ulama alumnus Universitas Ibnu Chaldun ini.
Dalam pandangan anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini, negara dibangun atas dua pilar. Pertama adanya titik temu semua elemen bangsa yakni Pancasila sehingga bisa diterima bersama atau dalam istilah Kimatussawa
Pilar kedua, adanya kesepakatan Piagam Jakarta yakni tentang seperti apa negara ini dibangun. Akhirnya dicapai kesepakatan disetujui ulama kala itu, untuk menghilangkan tujuh kata dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Ma’ruf melanjutkan, andai saja, ulama atau umat Islam kala itu, tidak menyetujui penghilangan tujuh kata tersebut, maka tidak ada lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (rhm)